Sejarah dan Budaya

Sejarah Mandailing NatalPada tahun 1365, Mpu Prapanca, sejarawan Majapahit, menulis satu karya sejarah yang secara gamblang menyebutkan keberadaan Mandailing sebagai bagian yang penting di nusantara. Karya sejarah itu adalah Negarakertagama.

[toc]

Sejarah

Pada stanza pertama syair ke-13 Negarakertagama terdapat nama Mandailing dan Pane dan pada stanza kedua terdapat nama Padang Lawas. Berdasarkan hal tersebut, Mandailing sudah dikenal di nusantara berabad-abad sebelum kurun Negarakertagama karena hanya daerah lama yang sudah mapan dan memiliki posisi pentinglah yang dicatat oleh Mpu Prapanca.

Kabupaten Mandailing Natal merupakan Daerah Penyangga antara dua komunitas yang berbeda sistem kekerabatannya, yaitu Batak Toba di Tapanuli Utara yang menganut sistem Patrilineal dan Minangkabau yang menganut sistem Matrilineal di Sumatera Barat. Sebagai komunitas penyangga dua kebudayaan, masyarakat mandailing mengalami proses akulturasi nilai­ nilai budaya dari kedua komunitas tersebut melalui kontak budaya yang intensif. Mereka dapat memperkaya budi pekertinya antara lain berupa kepribadian yang menonjolkan kelugasan dan ketegaran dari utara dan kecerdikan dari selatan.

Hal ini berarti sejak penggalan akhir abad ke-14 suku bangsa dan wilayah bernama Mandailing sudah diakui. Sayangnya, selama lebih lima abad, Mandailing seakan-akan raib ditelan sejarah. Baru pada abad ke-19, ketika Belanda menguasai tanah berpotensi sumber daya alam ini, Mandailing mencatat sejarah baru.

Terdapat beberapa versi nama Natal. Ada yang mengatakan bahwa bangsa Portugis lah yang memberi nama ini karena ketika mereka tiba di pelabuhan di daerah pantai barat mandailing mereka mendapat kesan bahwa pelabuhan alam ini mirip dengan pelabuhan Natal di ujung selatan Benua Afrika. Adapula yang menyebutkan bahwa armada Portugis tiba di pelabuhan ini tepat pada hari Natal, sehingga mereka menamakan pelabuhan tersebut dengan nama Natal. Versi lain menegaskan bahwa nama Natal sama sekali tidak ada hubungannya dengan Kota Pelabuhan Natal di Afrika Selatan dan tidak ada pula kaitannya dengan hari Natal.

Puti Balkis A. Alisjahbana, adik kandung pujangga Sutan Takdir Alisjahbana, menjelaskan bahwa kata Natal berasal dari dua ungkapan pendek masing­ masing dalam bahasa Mandailing dan Minangkabau.

Ungkapan dalam bahasa Mandailing “natarida” yang artinya yang tampak (dari kaki Gunung-gunung Sorik Marapi di Mandailing). Ungkapan ini kemudian berubah menjadi Natar. Sampai kini masih banyak orang Mandailing menyebut Natar untuk Natal, termasuk Batang Natar untuk Batang Natal.

M. Joustra, tokoh Bataksch lnstituut, juga menulis nama Natal dengan Natar dalam tulisannya De toestanden in Tapanoeli en de Regeeringscommissie yang dimuat dalam Bataksch lnstituut no. 13 tahun 1917 halaman 14, yang antara lain menulis tentang perbaikan jalan pedati ke Natar dan perbaikan jalan raya Sibolga-Padang Sidimpuan sebagai bagian dari jalan yang menghubungkan Sumatera Barat dan Tapanuli.

Lebih tua dari tulisan Joustra itu adalah laporan perjalanan dan penelitian Dr. S. Muller dan Dr. L. Horner di Mandailing Tahun 1838. Mereka menggambarkan keadaan Air Bangis yang dikuasai Belanda sejak tahun 1756 dan Natar yang letak geografisnya 0° 32′ 30″ Lintang Utara dan 99° 5′ Bujur Timur dikuasai lnggris tahun 1751-1756.

Ungkapan bahasa Minangkabau raNAh nan daTA(r) kemudian menjadi Nata(r) yang artinya daerah pantai yang datar adalah salah satu versi tentang asal muasal nama Natal. Penyair besar Mandailing, Willem lskander menuIis Sajak monumental “Sibulus-bulus Si Rumbuk­ rumbuk” mengukir tanah kelahirannya yang indah dihiasi perbukitan dan gunung. Terbukti tanah Mandailing Mampu eksis dengan potensi sumber daya alam, seperti tambang emas, kopi, beras, kelapa dan karet.

Kabupaten Mandailing Natal diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9 Maret 1999 dikantor Gubernur Sumatera Utara, Medan. Dalam rangka mensosialisasikan Kabupaten Mandailing Natal, Bupati Mandailing Natal, Amru Daulay, SH menetapkan akronim nama Kabupaten Mandailing Natal sebagai Kabupaten Madina yang Madani dalam Surat tanggal 24 April 1999 Nomor 100/253.TU/1999.

Ketika diresmikan, Kabupaten Mandailing Natal baru memiliki 8 (delapan) Kecamatan, 7 Kelurahan dan 266 Desa. Kemudian pada tahun 2002 dilakukan pemekaran menjadi 17 Kecamatan, 322 Desa, 7 Kelurahan dan 10 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT). Pada tahun 2007 dimekarkan lagi menjadi 22 Kecamatan berdasarkan Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2007, Setelah keluarnya Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2008 tentang pembentukan Desa, Perubahan nama desa dan penghapusan Kelurahan, dengan demikian Kabupaten Mandailing Natal sampai pada akhir tahun 201O terdiri dari 23 Kecamatan, 27 Kelurahan dan 377 Desa.

Mandailing Natal terletak berbatasan dengan Sumatera Barat, bagian paling selatan dari Propinsi Sumatera Utara. Penduduk asli Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari dua etnis :

  • Masyarakat etnis Mandailing
  • Masyarakat etnis Pesisir

Masyarakat Mandailing Natal terdiri dari suku/etnis Mandailing, Minang, Jawa, Batak, Nias, Melayu dan Aceh, namun etnis mayoritas adalah etnis Mandailing 80,00 {66306753b686bafa30ecfd91ef21082c8fb5655a7187d682c2f48b3ebd0ee0c0}, etnis Melayu pesisir 7,00 {66306753b686bafa30ecfd91ef21082c8fb5655a7187d682c2f48b3ebd0ee0c0} dan etnis jawa 6,00 {66306753b686bafa30ecfd91ef21082c8fb5655a7187d682c2f48b3ebd0ee0c0}. Etnis Mandailing sebahagian besar mendiami daerah Mandailing, sedangkan etnis melayu dan minang mendiami daerah Pantai Barat.

Seperti halnya kebanyakan daerah-daerah lain, pada zaman dahulu penduduk Mandailing hidup dalam satu kelompok-kelompok, yang dipimpin oleh raja yang bertempat tinggal di Bagas Godang. Dalam mengatur sistem kehidupan, masyarakat Mandailing Natal menggunakan sistem Dalian Na Tolu (tiga tumpuan). Artinya, mereka terdiri dari kelompok kekerabatan Mora (kelompok kerabat pemberi anak dara), Kahanggi (kelompok kerabat yang satu marga) dan Anak Boru (kelompok kerabat penerima anak dara). Yang menjadi pimpinan kelompok tersebut biasanya adalah anggota keluarga dekat dari Raja yang menjadi kepala pemerintahan di Negeri atau Huta asal mereka.

Tempat Bersejarah

Sumur Besar MULTATULI

sumurMultatuli (Bahasa Latin untuk “Saya sungguh menderita”) adalah salah satu nama yang terkenal di Natal. Multatuli adalah nama samaran untuk Eduard Douwes Dekker yang menulis buku “Max Havelaar”. Buku ini disebut sebagai “buku yang menghapuskan kolonialisme”. Multatuli tinggal di Natal pada tahun 1842-1844. Disini da-pat dilihat bebe-rapa peningga-lan Multatuli se-perti sebuah sumur besar yang duhulunya digunakan oleh Multatuli pada saat dia tinggal di Natal.

 

Pesanggrahan Kotanopan

pesanggrahan20kotanopanPesanggrahan Kotanopan, pesanggrahan terbesar dan terbagus di Sumatera pada abad XIX. Bahkan Presiden Soekarno pun pernah berkunjung ke pesanggrahan ini pada 16 Juni 1948 untuk menggelar rapat raksasa. Di depan pesanggrahan ini juga terdapat prasasti yang memuat nama para Perintis Kemerdekaan yang berasal dari Mandailing.

 

Rumah Kontrolir Natal pada Abad XIX

perayaan201020muharram_2Perayaan 10 Muharram memperingati hari wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW. Hasan dan Husin di halaman kediaman Kontrolir Natal, Asisten Residensi Mandailing Angkola di Natal pada abad XIX.

 

 

Kebudayaan

Kebudayaan dan Pariwisata Mandailing NatalMasyarakat Mandailing Natal dikenal sangat menghargai adat istiadat dan kebudayaan tradisional peninggalan para leluhurnya. Oleh karenanya di Daerah ini masih dapat ditemukan benda peninggalan budaya tradisional yang kelestariannya terus dijaga hingga kini. Diantara warisan budaya tersebut adalah “Bagas Godangl” yang merupakan tempat bermusyawarah dan bermufakat dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat, disamping itu Bagas Godang juga merupakan simbol daerah Kabupaten Mandailing Natal.

Gordang Sambilan

Gordang Sambilan MandailingKesenian merupakan bagian dari kebudayaan yang mewarnai kehidupan masyarakat Kabupaten Mandailing Natal, terutama ketika berlangsung acara perayaan atau penyambutan kunjungan tamu-tamu penting. Satu diantara perangkat kesenian daerah yang menonjol adalah “Gordang Sambilan” yaitu alat musik tradisional yang terdiri dari sembilan buah gendang. Sedangkan bentuk kesenian lainnya adalah tarian “tor tor mandailing” dan pada daerah pesisir dikenal kesenian “badendang” dengan diiringi pencak silat.

Gordang Sambilan adalah jenis alat musik pukul seperti Bedug.Terdiri dari Sembilan bedug yang mempunyai Panjang dan Diameter yang berbeda sehingga menghasilkan nada yang berbedapula.

Gordang Sambilan di perdengarkan hanya dalam kegiatan kerajaan,Seperti acara Pernikahan ataupun penyambutan Tamu Kerajaan.Sebelum Gordang Sambilan di perdengarkan di wajibkan untuk memotong Kerbau.Tempat Gordang sambilan berada di alunalun Bagas Godang(Istana). Seiring berkembangnya kultur sosial masyarakat saat ini Gordang sambilan sudah lebih sering di perdengarkan baik pada pesta Pernikahan, Penyambutan dan Hari besar.

Gordang Sambilan salah satu pesona wisata di Kab. Mandailing Natal (Madina), salah satu warisan budaya bangsa Indonesia. Bahkan diakui pakar etnomusikologi sebagai satu ensambel music teristimewa di dunia.

Sebagai alat musik adat dan sakral, Gordang Sambilan terdiri dari sembilan gendang. Ukuran besar dan panjang ke sembilan gondang itu bertingkat, mulai paling besar sampai paling kecil.

Tabung resonator Gordang Sambilan terbuat dari kayu yang dilubangi, dan salah satu ujung lobangnya ditutup dengan membran terbuat dari kulit lembu dan ditegangkan dengan rotan sebagai alat pengikat.

Untuk membunyikan alat kesenian itu digunakan pemukul terbuat dari kayu. Masingmasing gondang mempunyai nama sendiri. dan tidak sama di semua tempat di seluruh Madina, karena masyarakat Mandailing yang hidup dengan tradisi adat punya kebebasan untuk berbeda.

Instrumen musik tradisional ini dilengkapi dua buah ogung, satu doal dan tiga salempong atau mongmongan. Juga dilengkapi alat tiup terbuat dari bambu dinamakan sarune atau saleot dan sepasang simbal kecil yang dinamakan tali sasayat.

Belakangan ini, Gordang Sambilan sudah ditempatkan sebagai alat musik kesenian yang merupakan salah satu warisan budaya tradisional Mandailing, serta sudah mulai populer di Indonesia bahkan di Eropa dan Amerika Serikat (AS).

Karena dalam beberapa lawatan kesenian tradisional Indonesia ke sejumlah negara, diperkenalkan Gordang Sambilan. Sedangkan orang Mandailing yang banyak bermukim di Malaysia sudah mulai pula menggunakan Gordang Sambilan untuk berbagai upacara.

Dengan ditempatkannya Gordang Sambilan sebagai instrumen musik kesenian tradisional Mandailing, maka alat musik ini sudah digunakan untuk berbagai keperluan di luar konteks upacara adat Mandailing. Misalnya menyambut kedatangan tamu agung, perayaan nasional dan acara pembukaan berbagai upacara besar serta haru raya Idul Fitri.

Bagi orang Mandailing, Gordang Sambilan merupakan adat sakral, bahkan dipandang berkekuatan gaib yang dapat mendatangkan roh nenek moyang untuk memberi pertolongan melalui medium atau semacam shaman yang dinamakan Sibaso

Pada zaman animisme, Gordang Sambilan digunakan untuk upacara memanggil roh nenek moyang apabila diperlukan pertolongannya. Upacara tersebut dinamakan Paturuan Sibaso (memanggil roh untuk menyurupi medium Sibaso).

Tujuannya meminta pertolongan roh nenek moyang, mengatasi kesulitan yang sedang menimpa masyarakat, seperti penyakit menular. Juga digunakan untuk upacara meminta hujan atau menghentikan hujan yang turun terlalu lama dan menimbulkan kerusakan. Selain itu dipergunakan pula untuk upacara perkawinan yang dinamakan Horja Godang Markaroan Boru dan untuk upacara kematian yang dinamakan Horja Mambulungi

Penggunaan Gordang Sambilan untuk kedua upacara tersebut, karena untuk kepentingan pribadi harus terlebih dahulu mendapat izin dari pemimpin tradisional dinamakan Namora Natoras dan Raja sebagai kepala pemerintahan.

Oleh karena itu pada masa lalu, di setiap kerajaan di Mandailing harus ada satu ensambel Gordang Sambilan yang ditempatkan di Sopo Godang (balai sidang adat dan pemerintahan kerajaan), atau disatu bangunan khusus terletak di dekat Bagas Godang (istana raja).

Permohonan izin itu dilakukan melalaui suatu musyawarah adat yang disebut Markobar Adat yang dihadiri tokohtokoh Namora Natoras dan Raja berserta pihak yang akan menyelenggarakan upacara. Selain harus mendapat izin dari Namora Natoras dan Raja, untuk penggunaan Gordang Sambilan dalam kedua upacara harus disembelih paling sedikit satu ekor kerbau jantan dewasa.

Jika persyaratan tersebut tidak dipenuhi, maka Gordang Sambilan tidak boleh digunakan untuk upacara kematian (Orja Mambulungi) hanya dua buah yang terbesar dari instrumen Gordang Sambilan yang digunakan, yang dinamakan Jangat. Tapi dalam konteks penyelenggaraan upacara kematian dinamakan Bombat.

Penggunaan Gordang Sambilan dalam upacara adat disertai peragaan bendabenda kebesaran adat, seperti bendera adat yang dinamakan tonggol, payung kebesaran dinamakan Payung Raranagan dan berbagai jenis senjata seperti pedang dan tombak yang dinamakan Podang dan Tombak Sijabut.

Gordang Sambilan juga dapat digunakan mengiringi tari yang dinamakan Sarama Penyatarama (orang yang melakukan tari sarama), kadangkadang mengalami kesurupan pada waktu menari karena dimasuki oleh roh nenek moyang.

Bagas Godang dan Sopo Godang

bagas godang Bagas Godang (Rumah Raja) senantiasa dibangun berpasangan dengan sebuah balai sidang adat yang terletak di hadapan atau di samping Rumah Raja. Balai sidang adat tersebut dinamakan Sopo Sio Rancang Magodang atau Sopo Godang. Bangunannya mempergunakan tiang-tiang besar yang berjumlah ganjil sebagai-mana jumlah anak tangganya. Untuk melambangkan bahwa pemerintahan dalam Huta adalah pemerintahan yang demokratis, maka Sopo Godang dibangun tanpa di dinding.

Dengan cara ini, semua sidang adat dan pemerintahan dapat dengan langsung dan bebas disaksikan dan didengar oleh masyarakat Huta. Sopo Godang tersebut dipergunakan oleh Raja dan tokoh-tokoh Na Mora Na Toras sebagai wakil rakyat untuk “tempat mengambil keputusan-keputusan penting dan tempat menerima tamu-tamu terhormat”. Sesuai dengan itu, maka bangunan adat tersebut diagungkan dengan nama Sopo Sio Rancang Magodang inganan ni partahian paradatan parosu-rosuan ni hula dohot dongan (Balai Sidang Agung tempat bermusyawarah/mufakat, melakukan sidang adat dan tempat menjalin keakraban para tokoh terhormat dan para kerabat). Biasanya di dalam bangunan ini ditempatkan Gordang Sambilan yaitu alat musik tradisional Mandailing yang dahulu dianggap sakral.

bagas godang 2Setiap Bagas Godang yang senantiasa didampingi oleh sebuah Sopo Godang harus mempunyai sebidang halaman yang cukup luas. Oleh kerana itulah maka kedua bangunan tersebut ditempatkan pada satu lokasi yang cukup luas dan datar dalam Huta. Halaman Bagas Godang dinamakan Alaman Bolak Silangse Utang (Halaman Luas Pelunas Hutang). Sesiapa yang mencari perlindungan dari ancaman yang membahayakan dirinya boleh mendapat keselamatan dalam halaman ini. Menurut adat Mandailing, pada saat orang yang sedang dalam bahaya memasuki halaman ini, ia dilindungi Raja, dan tidak boleh diganggu-gugat.

Sesuai dengan fungsi Bagas Godang dan Sopo Godang, kedua bangunan adat tersebut melambangkan keagungan masyarakat Huta sebagai suatu masyarakat yang diakui sah kemandiriannya dalam menjalankan pemerintahan dan adat dalam masyarakat Mandailing.

Karena itu, kedua bangunan tersebut dimuliakan dalam kehidupan masyarakat. Adat istiadat Mandailing menjadikan kedua bangunan adat tersebut sebagai milik masyarakat Huta tanpa mengurangi kemulian Raja dan keluarganya yang berhak penuh menempati Bagas Godang. Oleh kerana itu, pada masa lampau Bagas Godang dan Sopo Godang maupun Alaman Bolak Silangse Utang dengan sengaja tidak berpagar atau bertembok memisahkannya dari rumah-rumah penduduk Huta.

Lubuk Larangan

Lubuk Larangan Batang GadisDi sepanjang Sungai Batang Gadis ada sebuah bagian yang disebut Lubuk Larangan yang panjangnya kira-kira 1 km. Biasanya dua kali dalam setahun terbuka bagi umum untuk menangkap ikan namun dalam bantuk yang terorganisir. Pada waktu lain dilarang keras untuk menangkap ikan disini. Seseorang yang ingin ikut ambil bagian dalam menangkap ikan harus mendaftarkan dirinya kepada sekretariat dan harus membayar uang pendaftaran. Uang tersebut dipergunakan untuk kepentingan umum dalam komunitas masyarakat tersebut. Gagasan dibalik lubuk larangan ini adalah untuk menghasilkan pendapatan untuk desa dan pelestarian ikan-ikan langka seperti ikan merah (sejenis jurung).

Pasar Tradisional

pasar tradisional mandailing natalPanyabungan merupakan ibukota Kabupaten Mandailing Natal. Setiap hari Kamis sangat ramai dikunjungi penduduk dari berbagai daerah di Kabupaten Mandailing Natal. Pasar Panyabungan terletak di pusat kota Panyabungan. Pasar ini merupakan pasar tradisonal yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Hari Kamis merupakan hari pekan di Panyabungan. Banyak sekali orang yang datang dari luar Panyabungan khusus berjualan pada hari Pekan.

Legenda Sampuraga

legenda sampuragaSalah satu cerita yang diwariskan secara turun temurun di Mandailing adalah cerita ataupun “Legenda Sampuraga”.

Dahulu, Sampuraga dan ibunya tinggal di tempat daerah Padang Bolak. Keadaan sangat miskin di tempat ini, sehingga menyebabkan Sampuraga berkeinginan untuk merubah kehidupannya. Dia tidak ingin pekerjaannya hanya mencari kayu bakar setiap harinya. Ia ingin menjadi pemuda yang membayangkan masa depan yang cerah. Kemudian ia berniat untuk merantau dan mohon izin pada ibunya yang sudah sangat tua. Sampuraga meninggalkan orang tuanya dengan linangan air mata. Dia berjanji akan membantu keadaan ibunya apabila telah berhasil kelak. Ibunya kelihatan begitu sedih, karena Sampuraga adalah putera satu-satunya yang dimilikinya. Ia melepas kepergian putranya dengan tetesan air mata.

Sampuraga terus melanjutkan petualangannya dengan kelelahan yang terus menerus. Setelah beberapa lama sampailah ia ke Pidelhi (Pidolo sekarang), dan berdiam disana untuk beberapa waktu. Kemudian dilanjutkannya perjalanannya ke Desa Sirambas. Pada waktu itu Sirambas dipimpin oleh seorang raja yang bernama Silanjang (Kerajaan Silancang). Ditempat ini Sampuraga bekerja keras yang merupakan kebiasannya sejak masa kanak-kanak. Rajapun tertarik dan ingin menjodohkannya pada putrinya. Tentu saja Sampuraga sangat senang setelah mengetahui hal ini. Raja bermaksud membuat pesta besar, semua raja-raja di sekitar Mandailing diundang. Sementara ibunya sangat rindu pada putranya. Sampuraga telah tumbuh menjadi dewasa dengan begitu banyak perubahan. Dia tidak lagi seorang yang miskin seperti dahulu. Dia adalah lelaki yang kaya raya dan menjadi seorang raja.

legenda sampuragaKetika upacara perkawinan tiba, ibunya dating ke pesta itu berharap dapat berjumpa denganputranya secepatnya. Tetapi apa yang terjadi ??? Sampuraga tidak mengakui kalau itu adalah ibunya. Dia malu kepada istrinya karena ibunya kelihatan sangat tua renta dan miskin, dia menyuruh ibunya untuk pergi dari tempat itu. Sampuraga berkata “Hei orang tua, kamu bukan ibu kandungku, ibuku telah lama meninggal dunia. Pergi…!!!” Sampuraga tidak peduli dengan kesedihan dan penderitaan ibunya. Ibunya pun pergi sambil memohon dan berdo’a kepada Allah SWT, Sampuraga dikutuk oleh ibunya dan kedurhakaannya tidak lain adalah disebabkan oleh kekayannya, ibunya memeras air susunya, Sampuraga lupa bahwa ia pernah disusui oleh ibunya. Atas kehendak Allah SWT, datanglah badai tiba-tiba disekitar tempat istana menjadi banjir dan dihempas oleh air. Sampuraga tenggelam dan tempat itu menjadi Sumur Air Panas. Itulah yang dikenal dengan Air Panas Sampuraga di Desa Sirambas.

Profil Kabupaten Mandailing Natal
Gambaran Umum
Sejarah dan Budaya
Potensi Daerah
Pariwisata