- Letak, Luas dan Batas Wilayah
Kabupaten Mandailing Natal dalam konstelasi regional berada di bagian selatan wilayah Provinsi Sumatera Utara yang dengan ketinggian 0-2.145 m di atas permukaan laut. Kabupaten ini merupakan bagian paling selatan dari Provinsi Sumatera Utara dan berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Barat. Kabupaten dengan ibukota Panyabungan ini memiliki luas wilayah perencanaan ±653.542 Ha (luas berdasarkan digitasi peta Rupa Bumi Indonesia tahun 2014).
Secara administratif, letak geografis Kabupaten Mandailing Natal berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Padang Lawas di sebelah Utara; Provinsi Sumatera Barat di sebelah Timur; Samudra Hindia di sebelah Barat dan Provinsi Sumatera Barat di sebelah Selatan. Batas wilayah administrasi Kabupaten Mandailing Natal dapat dilihat pada gambar berikut:
Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Mandailing Natal
Sumber: RTRW Kabupaten Mandailing Natal 2016-2036
Luas Wilayah dan Administrasi Kabupaten Mandailing Natal
Sumber: RTRW Kabupaten Mandailing Natal 2016-2036
- Kondisi Topografi
Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari gugusan pegunungan dan perbukitan yang dikenal dengan Bukit Barisan di beberapa kecamatan, juga daerah pesisir/daerah pantai di Kecamatan Batahan, Kecamatan Natal dan Kecamatan Muara Batang Gadis. Daerah Kabupaten Mandailing Natal dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
- Dataran rendah merupakan daerah pesisir, kemiringan 00-20 seluas 160.500 Ha (24,24%);
- Daerah/dataran landai, kemiringan 20-150 seluas 879 Ha (5,49%);
- Dataran Tinggi, kemiringan 150-400. Dataran tinggi terdiri 2 dari jenis, yaitu:
- Daerah perbukitan, kemiringan 150-200 seluas 513 Ha (16,91%);
- Daerah pegunungan, kemiringan 200-400 seluas 348.599 Ha (53,34%).
Topografi Kabupaten Mandailing Natal
Sumber: BPS Kabupaten Mandailing Natal
- Kondisi Klimatologi
Tinggi rendahnya suhu udara dipengaruhi oleh ketinggian daerah di atas permukaan laut. Daerah Mandailing Natal yang terletak pada ketinggian antara 0-1.315 meter di atas permukaan laut mengakibatkan suhunya berkisar antara 230C sampai 320C dengan kelembaban antara 80-85 %.
- Kondisi Geologi
Kondisi geologi di Kabupaten Mandailing Natal cukup kompleks, dengan jenis batuan yang berumur mulai dari Permokarbon sampai dengan Resen, terdiri dari berbagai jenis litologi mulai dari batuan beku, batuan metamorf dan batuan sedimen, memungkinkan Kabupaten Mandailing Natal ini memiliki berbagai jenis bahan galian, terutama non-logam, yang beberapa jenis diantaranya cukup prospek untuk dikembangkan, seperti bahan galian granit, lempung, batu gamping, sirtu, tras, batuapung, batusabak dan kuarsit.
Jenis batuan paling banyak terdapat pada Formasi Paleogen mayoritas terdapat di Kecamatan Muara Batang Gadis. Jenis batuan permokarbon mayoritas terdapat di Kecamatan Natal, Siabu, Panyabungan, sebagian terdapat di Kecamatan Kotanopan dan Kecamatan Muarasipongi. Jenis formasi Andesit Muda mayoritas terdapat di Kecamatan Batang Natal dan Kecamatan Kotanopan. Sedangkan jenis batuan yang paling sedikit adalah jenis batuan diabas.
- Kondisi Hidrologi
Potensi hidrologi cukup penting untuk menunjang pembangunan, baik untuk kepentingan irigasi, air minum, sanitasi, transportasi, maupun untuk kepentingan lainnya. Sumber air yang terdapat di Kabupaten Mandailing Natal bagi kebutuhan tersebut di atas berasal dari mata air dan sungai.
Di wilayah Mandailing Natal terdapat beberapa DAS yang besar, diantaranya adalah:
- DAS Batang Gadis : 313.845,08 Ha (53,32%)
- DAS Batang Batahan : 540,32 Ha (17,59%)
- DAS Batang Natal : 091,90 Ha (12,93%)
- DAS Batang Tabuyung : 152,84 Ha (8,18%)
- DAS Batang Bintuas : 266,58 Ha (5,48%)
- DAS Batang Toru : 665,83 Ha (2,49%)
- Penggunaan Lahan
Dalam pengembangan wilayah informasi tutupan lahan yang tepat sangat diperlukan, untuk mempermudah analisa perencanaan dan pengembangan wilayah yang dimaksud (Sihombing 2012). Perubahan tutupan lahan secara spasial merupakan salah satu cara mengidentifikasi perkembangan wilayah, karena perubahan tutupan lahan berkaitan dengan pertumbuhan penduduk yang membutuhkan pertambahan ruang untuk melakukan aktivitasnya. Tutupan lahan berhubungan dengan vegetasi (alam atau ditanam) atau konstruksi oleh manusia yang menutupi permukaan tanah (Baja 2012).
Tabel berikut menyajikan informasi tutupan lahan di Kabupaten Mandailing Natal dalam periode 10 tahun. Di tahun 2008 kelas tutupan lahan yang paling luas adalah hutan yaitu 44,90% dari luasan total wilayah. Pada umumnya tutupan lahan hutan beralih fungsi ke sektor pertanian, yaitu perkebunan sawit dan perkebunan campuran. Di tahun 2018 luas tutupan lahan hutan berkurang menjadi 30,04%, jika terus menerus tidak ada pengawasan dan pengendalian, defrostasi akan terus berlanjut yang mengakibatkan penurunan daya dukung DAS. Sebagaimana dinyatakan Fadhil et al (2021), ketersediaan hutan dalam suatu DAS berhubungan erat dengan ketersediaan air dan banjir di bagian hilir DAS.
Luas Tutupan Lahan di Kabupaten Mandailing Natal Periode Tahun 2008- 2018
Adanya kearifan lokal berupa harangan rarangan merupakan bentuk pengelolaan sumberdaya hutan dan air di wilayah ini. Desa-desa dengan penduduk yang masih menerapkan kearifan lokal ini, tetap menganggap hutan sebagai sumber kehidupan yang harus dijaga. Hutan sebagai sumber mata air untuk pertanian, lahan untuk berkebun dan umumnya akan ada penolakan jika ada orang luar daerah yang akan merambah hutan.
Perkembangan wilayah diidentifikasi dari perubahan tutupan lahan secara spasial, pertumbuhan penduduk mengakibatkan meningkatnya kebutuhan ruang untuk berbagai aktivitas. Lahan terbangun dapat mengidentifikasi perkembangan wilayah secara spasial. Seiring dengan bertambahnya waktu, jumlah penduduk akan bertambah sehingga terjadi juga penambahan luasan permukiman. Lokasi tersebut merupakan pusat aktivitas perdagangan, pendidikan, kesehatan di Kabupaten Mandailing Natal.
Sebagai wilayah pusat pelayanan, kebutuhan ruang untuk permukiman terus meningkat. Perkebunan campuran dan sawah bergeser peruntukannya menjadi permukiman. Karena dua tutupan lahan ini ketersediaannya masih tinggi baik dari aspek ekonomi dan dianggap paling minim hambatannya jika dialihfungsikan menjadi permukiman.
Perubahan hutan menjadi perkebunan sawit merupakan suatu keputusan politis yang lebih mempertimbangkan daya tarik ekonomi dan sosial (Dijk dan Savenije 2011). Pada tahun 2008 di daerah pantai barat, umumnya persentase luasan perkebunan sawit > 50% dari luas total wilayah, dalam
10 tahun kemudian luasan perkebunan sawit semakin meningkat. Di wilayah-wilayah ini terdapat beberapa perkebunan sawit besar yang memiliki izin. Sebesar 50% dari total perusahaan perkebunan tersebut mulai beroperasi secara komersial pada tahun 2005 keatas. Hal ini berdampak pada pembukaan lahan sawit diluar lahan tersebut, baik oleh masyarakat setempat maupun masyarakat luar daerah. Sampai saat ini perkebunan sawit ini berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan petani sawit di desa ini baik petani plasma dan non plasma (Susiarti 2018). Peningkatan kesejahteraan dapat terwujud jika masyarakat setempat memiliki lahan dan ikut menjadi tenaga kerja di perkebunan sawit. Namun jika tidak, hanya mempengaruhi pembangunan ekonomi secara luas dalam skala regional ataupun negara (Dijk dan Savenije 2011).
Perubahan penggunaan lahan dipandang sebagai bagian dari pergeseran- pergeseran dinamika alokasi dan distribusi sumberdaya menuju keseimbangan baru yang lebih produktif (Rustiadi et al. 2009). Perubahan tutupan lahan hutan menjadi perkebunan campuran sebagian besar terjadi di kecamatan Muara Batang Gadis (33.662,73 ha) dan Kecamatan Batang Natal (21.609,53 ha). Selain berubah menjadi perkebunan campuran, hutan beralih fungsi menjadi perkebunan sawit seluas 33.179,19 ha terjadi di arah barat dan barat laut kabupaten. Sebagaimana dapat dilihat di Gambar di bawah.
Peta Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2008-2018
Sumber : RPJMD Kab. Mandailing Natal Tahun 2021 – 2026.